10 Jan 2013

Dilema Qanun Syariah di Bawah Sistem Munafik (Demokrasi)

Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, memberlakukan larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat diboncengkan dengan sepeda motor. Hal itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Wali Kota Lhokseumawe Suadi Yahya, Rabu (2/1/2013).

Alasan pemberlakukan aturan tersebut menurut Suadi Yahya adalah adanya keinginan para ulama yang tergabung dalam MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), dan juga MAA (Majelis Adat Aceh), yang menyampaikan perlunya melaksanakan Syariat Islam dan adat istiadat Aceh secara kaffah dan lebih baik.

Peraturan ini sontak menyebabkan kontroversi di kalangan beberapa pihak, peran media massa menjadikan kontraversi meresonansi ke banyak masyarakat Aceh, ataupun masyarakat Indonesia, bahkan menembus ke mancanegara.

Ironi Demokrasi

Terlepas dari pro dan kontra mengenai perda syariah tersebut, kita melihat ada hal yang menarik dalam masalah ini yakni ide (ilusi) demokrasi. Ungkapan Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) sudah sering kita dengar di era demokrasi. Artinya ketika mayoritas suatu bangsa atau masyarkat bersepakat akan suatu persoalan maka itu harus menjadi suatu aturan yang wajib diterapkan dan dipatuhi karena hal tersebut adalah kehendak masyarakat.

Namun kita melihat di sinilah ironinya ide demokrasi. Ketika mayoritas masyarakat menginginkan diterapkannya perda syariah (Qanun), pemerintah masih menimbang-nimbang efek negatif serta positif perda tersebut bagi masyarakat. Bahkan kecondonganya bernafsu untuk mengaborsi perda tersebut dengan berbagai dalih. Mulai dari alasan filosofis, sosiologis, yuridis hingga politis yang dipaksakan. Sekedar mengingat ulang bahwa jika diterapkan syariah maka kemaslahatan akan didapat, sebagaimana kaidah syara’ yang berbunyi “idza kaana syar’u an takun al maslahat-dimana ada syari’ah, di sana pasti ada maslahat”.

Hakikatnya dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).

Kita pun melihat bagaimana para pengusung ide demokrasi yang selalu menggembor-gemborkan ide kebebasan. Di dalam sistem demorasi, memang demokrasi memberikan tempat untuk menyuarakan syariah Islam, namun fakta demokrasi tidak memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan.

Dari fakta tersebut kita bisa melihat bahwa demokrasi memang bukanlah cawan untuk penegakkan syariah Islam. Bukan sistem politik yang relevan untuk tatbiqus syari’ah, karena kontradiksi diametrikal mulai dari asas hingga cabangnya. Kalaupun diterapkan, syariah Islam tersebut hanyalah komplementer atau pelengkap terhadap peraturan (hukum positif produk akal). Syariah Islam yang diterapkan hanyalah parsial, tidak menyeluruh.

Penerapan Syariah Menjadi Penebus Jawabir & Jawazir


Salah satu keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah sebagai jawabir dan jawazir. Keistimewaan ini tidak akan kita temui di luar daripada hukum Islam. Misalnya, hukum syariah Islam ketika diterapkan kepada orang-orang yang melakukan tindakan kriminal, dan ketika kepada mereka diberlakukan hukum syariah, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai jawabir.

“Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].

Disamping itu, pemberlakukan syariah Islam akan menjadi sarana pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang disebut sebagai Jawazir. Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum qishash, maka qishash tersebut akan mencegah terjadinya tindakakan balas dendam kepada keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku.

Allah swt berfirman : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [surat al-baqarah ayat 179]

Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”

Oleh karenanya, sebagai seorang yang mengaku muslim, tidak sepatutnya merasa gerah terhadap penerapan syariah Islam (kecuali orang yang nifaq). Disamping penerapan syariah itu sendiri adalah perwujudan keimanan kita kepada Allah swt sebagai pencipta kita, sekaligus juga menjalankan syari’ah Islam yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT sebagai pembawa risalah Islam yakni aqidah dan syariah Islam, yang berfungsi mengatur hubungan manusia dengan pencipta-Nya dalam perkara ibadah, untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni dalam pengaturan masalah akhlaq, makanan, pakaian dan minuman, serta untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yakni dalam perkara mu’alamah dan ‘uqubat.

Itulah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi. Cuman sayang, masih banyak generasi Islam bermimpi semua itu bisa diwujudkan melalui jalan yang bernama “demokrasi”. Jangan lupa, Islam telah menggariskan solusi (Syariah;seperangkat aturan lengkap untuk kehidupan politik), sekaligus metode penerapannya (thariqah/method). Islam hanya bisa tegak secara kaffah dengan institusi yang disebut Daulah Islamiyah (Khilafah). Wallahu A’lam bishawab...

No comments:

Post a Comment

3 Langkah Mudah Menjalankan Bisnis Paytren UYM

Sebelum membahas 3 Langkah Mudah Menjalankan Bisnis Paytren UYM, inilah 5 ALASAN KENAPA ANDA HARUS GABUNG PAYTREN SEKARANG 1. Peluang bis...